Demokrasi dan Pertumbuhan Budaya Etnik Tionghoa di Kota Surabaya Pasca Orde baru

Garry Renata Indrakusuma, Putra Aditya Lapalelo, Nathanael Chandra Agust

Abstract


lnstruksi Presiden (Inpres) No. 1411967 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto pada masa Orde Baru menyatakan larangan bagi masyarakat Tionghoa di lndonesia menjalankan acara-acara keagamaan, kepercayaan dan adat-istiadat, dan menggunakan aksara Tionghoa dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam atmosfir politik seperti itu, budaya etnik Tionghoa mengalami kemandekan. lbarat bibit tanaman, budaya etnik Tionghoa tidak dapat tumbuh. Kebijakan politik seperti itu bukan hanya membuat masyarakat Tionghoa menjadi takut menggunakan dan menunjukkan identitas ke-Tionghoaannya. Lebih dari itu banyak di antara mereka tumbuh menjadi manusia-manusia hipokrit yang mengingkari kodrat dan takdirnya dilahirkan sebagai orang Tionghoa. Melalui Keputusan Presiden
(Keppres) No. 612000, lnpres No. 1411967 itu dicabut oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). lnilah tonggak dari perubahan politik kebudayaan, pemerintah mengakui eksistensi budaya etnik Tionghoa dan menetapkan Hari Raya lmlek sebagai hari libur nasional. Penelitian ini akan memaparkan hasil wawancara dengan beberapa nara sumber kunci tokoh Tong Hoa di Surabaya terkait pertumbuhan dan perkembangan budaya etnik Tonghoa pasca pencabutan lnpres No. 141 1967. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, kami akan melakukan wawancara mendalam (depth interview) terhadap sejumlah tokoh dari kelompok pengamat maupun pelaku budaya, khususnya pelaku budaya etnik Tionghoa dengan menggunakan struktur pertanyaan terbuka (open questioner).

Save to Mendeley


Keywords


demokrasi, etnik Tionghoa, dan pasca orde baru

Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.33508/jk.v2i2.1687