Abstract
Jauh sebelum Jokowi terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia (2014-2019), komunikasi politik telah dilakukan dengan cara memadukan antara kegiatan dan ekspose media. Kegiatan menunjukkan karakteristik personal seseorang, seperti apa yang menjadi visinya, pemikiran apa yang melatar belakanginya, dan citra seperti apa yang diinginkan. Komunikasi politik Jokowi tersebut dikenal dengan sebutan “blusukan”, istilah dari bahasa Jawa yang artinya kurang lebih terjun langsung ke tangah masyarakat atau turun ke bawah (turba). Berdasarkan fakta informasi yang dapat kita peroleh dari media, nampaknya Jokowi akan ambil bagian lagi dalam kontestasi Pemilihan Presiden tahun depan (2019). Tulisan ini menganalisis bagaimana komunikasi politik Jokowi dalam dua sisi, yakni membangun citra dan memelihara koalisi partai pendukung. Citra sangat dibutuhkan untuk mempertahankan dan menguatkan popularitas hingga elektabilitas. Sedangkan memelihara jejaring partai politik dibutuhkan karena partai politik atau gabungannya yang berwewenang mengusung calon Presiden dan calon wakil presiden. Kajian ini menggunakan pendekatan interpretatif berdasarkan data informasi yang diperoleh dari media (media on-line maupun media massa). Analisis berdasarkan terori citra dan teori opini publik. Kajian ini menujukkan bahwa citra yang dibangun Jokowi sangat kuat pada citra kini, citra keinginan (visi), dan citra penampilan. Sementara Jokowi lemah pada citra cermin dan citra koorporasi. Sedangkan komunikasi politik dalam menjaga dukungan partai, menunjukkan partai yang semula mengusung pencalonannya pada 2014 yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menunjukkan ada jarak, sehingga Jokowi lebih merapat ke partai lain.
Save to Mendeley
Keywords
Komunikasi Politik, citra, jejaring, Pilpres, opini